Ni Hao, Gengs!

Dear Peserta #30HariMenulisSuratCinta dengan awalan huruf H-L,

Bagaimana kabar kalian, gengs? Kakak Mini harap semuanya dalam keadaan bahagia. Sebab salah seorang kawanku pernah berbisik padaku ketika suatu ketika kesedihan sedang singgah di bahuku.

Katanya, "Jangan lupa bahagia, Tiw. Sebab bahagia itu hukumnya wajib."

Terima kasih sudah mempercayai kakak Mini untuk mengantar surat-surat kalian selama 30 hari penuh. Maafkan kalau selama ini masih banyak kekurangan di sana sini. Tapi percayalah, surat-surat kalian selalu mampu membunuh lelah setelah seharian di kantor.

Ada yang sempat bertanya bagaimana ekspresiku ketika membaca surat kalian. Kalian sudah membuat perasaanku jungkir balik. Membaca surat kalian aku bisa senyum-senyum sendiri membayangkan jika aku "Dia" yang kaukirimi surat, kadang aku bisa mengernyitkan dahi, tak jarang ikut sedih jika surat kalian sedang berbicara mengenai rindi, pertemuan yang takkunjung terjadi, atau hati yang tak mampu meraih cintanya. Tak apa, Gengs, semua itu wajar terjadi. Yang kita butuhkan hanya tetap semangat dan percaya kepada diri kita sendiri.

Pesanku tak banyak, sebab aku sendiri masih butuh banyak nasehat. Pesanku, tetap menulis, ya. Sebab menulis itu hanya butuh satu hal, kedisplinan. Media sosial kakak Mini terbuka lho buat kalian yang ingin curhat. Sesibuk apa pun kakak Mini akhir-akhir kini karena deadline, akan selalu ada waktu dan hatiku untuk kalian.

Sampai jumpa di event dan kesempatan lainnya. Semoga.

Salam,

Pratiwi Herdianti Putri.

Surat Ke-20: Kepada Mr. Nob

Jika aku tak salah hitung, sebab aku tak pandai matematika, ini sudah pekan kedua puluh tiga aku tak menatap wajahmu dari sekian centimeter. Bahkan aku tak tahu persis berapa kilometer yang memisahkan kedua langkah kita. Aku tak akan bicara mengenai rindu, mengelu-elukan rindu, atau pun memaki-maki jarak yang membuat debar jantungku berdebar tak semestinya setiap ada yang menyebut namamu. Aku tak bermaksud membuatmu cemas, meski pada kenyataannya berpisah denganmu seperti satu kotak rokok yang kehilangan korek apinya.

Belakangan ini, aku lebih sering mendengarkan lagu-lagu dengan nada yang membuatku dadaku lebih hangat. Mereka bilang lagu sendu. Tapi kubilang ini puisi bernada. Aku juga lebih sering makan hal-hal yang manis seperti coklat, banyak yang bilang bahwa coklat bisa membuatmu lebih tenang. 

Aku masih ingat apa yang kita perdebatkan di ruang tunggu stasiun senja itu, percayakah kau, bahwa menu sarapanku tadi pagi saja aku tak bisa ingat. Aku masih ingat senyum terakhir yang kau lontarkan padaku, aku pun masih ingat kalimat terakhir milikmu sebelum akhirnya punggungmu itu menjauh, kalimat yang penuh rasa khawatir dan penyesalan. Aku bahkan masih mampu merasakan hangatnya kedua lenganmu yang menggapaiku. 

Jika kamu punya satu kotak rokok dan kamu kehilangan koreknya, tinggal berlari sajalah ke toko atau warung paling dekat dengan tempatmu sekarang. Namun jika berbicara mengenai rindu dan berusaha untuk tidak memakinya, bagaimana kalau aku berhenti menulis tentang rindu? Bagaimana kalau bertemu saja kita, saling memeluk erat, hingga lupa waktu.

                                                                                                   

                                                                                                             Surabaya, Februari 2016
aku tak perlu membaca headline surat kabar mana pun
atau memutar tombol radio menuju saluran mana pun
hanya untuk mencari tahu 
ulah apalagi yang teroris lakukan di negeri ini
apakah hujan akan singgah di kotaku hari ini
sebab bagiku,
berita yang paling terkini ialah
kabar darimu bahwa kau sedang baik-baik saja

beberapa waktu lalu
kuhabiskan satu setengah jamku di parkiran kampus 

aku tahu kau tak pernah suka puisi
atau sekadar membaca puisi
padahal aku menulis banyak puisi


Surat Ke-19: Kepada Mr. Nob

Dear Mr. Nob,

Dua tahun sebelum aku bertemu denganmu aku bertemu dengan seorang laki-laki. Namanya Dimitri.

Begini ceritanya,
aku yang saat itu berstatus mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri sedang rajin-rajinnya ke perpustakaan. Waktu itu pukul dua siang, aku sudah terlambat untuk makan siang. Aku bukan tipe orang yang suka pergi ke perpustakaan bergerumul seperti anak-anak lainnya. Aku suka pergi sendirian. Hingga siang itu aku makan siang sendirian.

Dimitri:
Tumben jam segini belum makan siang?

Nona Pop:
I beg your pardon, kakak bicara sama saya?

Dimitri:
Pergi ke perpustakaan setiap selesai kelas hingga matahari terbenam. Makan siang di kantin Fakultas Sastra duduk di pojok setelah sholat Dzuhur di musholla. Siapa lagi?

Aku hanya pura-pura meneruskan suapan makanku, meski sesungguhnya aku juga tak begitu menikmati rasanya. Aku lebih pada takut. Sebab sejujurnya, aku belum pernah bertemu dengannya.

Dimitri:
Nona Pop, itu namamu, kan? Aku Dimitri, angkatan satu tahun di atasmu. Jurusan Sosiologi, FISIP. Kampus kita sebelahan kan?

Nona Pop:
Nice to see you, but i have to go.

Dimitri:
See you tomorrow, Nona Pop!

Semenjak kenadian itu, Tuan, Dimitri suka sekali tiba-tiba duduk di hadapanku ketika aku sedang membaca di perpustakaan. Jauh dari perkiraanku, dia bukan sekadar playboy yang mencoba menggoda adik kelasnya. Dia salah satu mahasiswa terpandai di fakultasnya.

Mas Dim, begitu aku kemudian memanggilnya, ternyata menyukai banyal hal berbau sastra. Kami banyak ngobrol mengenai paham Marxisme dan Feminisme di Eropa. Dia juga membaca buku buku Pram, Armijn Pane, A.S. Laksana, Dan Brown, bahkan Fedrich Nietsche. Siapa yang tak betah berlama-lama duduk dan mengobrol dengan laki-laki macam dia?
Suatu hari, Mas Dim mengajakku menonton konser. Bukan konser, Gigs lebih tepatnya. Waktu itu belum kukenal Payung Teduh atau pun Silampukau, Mr. Nob. Aku hanya tahu The Upstair, SantaMonica, Mocca, Efek Rumah Kaca, dan Pure Saturday. Mas Dim memberiku kejutan, dia memberiku dua tiket Mocca. Aku tak bisa bilang tidak.
Pukul 7 tepat, kulihat mobilnya sudah berhenti di depan pagar rumahku. Kulihat dia sedang asik berbincang dengan ayahku di teras depan. Baru kali ini kulihat Ayah begitu menerima orang baru dan tidak melarangku pergi dengan laki-laki.

Hampir setahun setelah dia mengajakku berkenalan dengan paksa. Menjemputku setiap Sabtu Malam, membawaku untuk menonton bioskop setelah berbasi-basi dengan ayah sebentar jika beliau ada di rumah, menemaniku ke toko buku, dan seringnya menemaniku makan siang di kantin ketika aku sedang tak bersama kawan-kawanku.

Hingga malam itu, Mr. Nob, aku tak pernah merencanakannya. Semua itu terlontar sendirinya dari mulutku, kalimat yang membuatku setengah menyesal setengah tidak telah mengatakannya.

Nona Pop:
Mas Dim kenapa suka nemenin aku ke toko buku? Ngajakin aku nonton?

Dimitri:
Karena Nona Pop yang ajak Mas Dim ke toko buku dan Mas Dim suka ngajak Nona Pop ke bioskop. Kita punya banyak selera yang sama. Apalagi soal musik, ngga semua orang suka musik swing dan jazz seperti Nona Pop.

Nona Pop:
Bukan karena Mas Dim sayang sama aku?

Dimitri:
Mas Dim sayang sama Nona Pop. Tapi seperti ini sudah bikin Mas Dim bahagia.

Nona Pop:
Seperti ini? Hubungan tanpa status maksudnya?

Dimitri:
Begini, Nona, Mas Dim sangat menyayangimu. Kamu tak perlu bertanya untuk tahu jawabannya. Tapi, aku ngga bisa melakukan hal yang lebih dari sekadar apa yang sudah kita lakukan selama ini. Kamu adik dan sahabat terbaik yang pernah Mas Dim punya.

Semenjak itu, Mr. Nob, aku takut untuk jatuh cinta. Aku tahu aku sedang berada dalam penolakan. Atau aku yang terlalu berharap lebih pada pertemanan kami. Aku tak tahu siapa yang salah di sini, aku atau waktu memang sedang tidak tepat.

Aku dan Mas Dim masih berteman hingga sekarang. Kami masih sesekali bertemu untuk melepas rindu dan membicarakan buku apa yang sedang kami baca. Tapi kami tak pernah pergi ke toko buku bersama lagi, kami tak pernah menonton bioskop lagi, tak lagi menonton gigs, bahkan aku jarang melihatnya di kampus semenjak Mas Dim mulai sibuk dengan skripsinya.

Tak ada satu kisah tentang aku yang tak kuceritakan padamu, Mr. Nob. Sebab sebelum bertemu denganmu, aku ialah perempuan yang sangat hati-hati perihal menjatuhkan hati. Sebelum bertemu denganmu, aku sempat tak percaya diri dan takut untuk mencintai dan membuka hati.
Tapi semua itu sebelum akhirnya aku bertemu denganmu, Mr. Nob.

Jadi, kapan kamu akan melipat jarak agar aku bisa bercerita langsung semuanya kepadamu. Melihat kakimu yang tak bisa diam ketika duduk dan kamu yang gemar menggigit bibir bagian bawahmu?

Salam,
Nona Pop.

Seperti Apa?

Seharusnya, aku tak patut untuk mengeluh. Sayangnya, aku hanya manusia biasa saja. Satu tahun belakangan aku banyak menerima kabar gembira berupa undangan pernikahan. Bagaimana aku tak turut bahagia melihat kawan-kawanku tengah berbahagia. Nyatanya, kabar gembira itu justru meninggalkan kegelisahan di atas kepalaku.

Membingungkan memang dengan kebiasaan sebagian orang di sekitarku yang menerapkan hukum tidak tertulis bahwa perempuan di usia sepertiku saat ini adalah saat-saat ideal untuk menikah, atau setidaknya sedang merencanakan pernikahan.

Aku sempat berpikir, mungkin menyenangkan jika memiliki lengan hangat milikmu sendiri. Tapi bagaimana bisa aku membayangkan jika kepada siapa hatiku terjatuh saja aku tak benar-benar tahu, atau lebih tepatnya aku sedang dalam masa dimana sebuah pertanyaan muncul di atas kepalaku setiap pagi,

"Jadi, cinta itu seperti apa?"

Surat Ke-11: Kepada Mr. Nob

gambar diambil dari sini

Mr. Nob sayang,

Maafkan aku tak ada surat untukmu di hari pertama hingga sepuluh. Sebab aku terlalu sibuk menghitung rinduku. Mr, Nob, Februari yang basah tahun ini singgah di kotaku. Mampirlah sebentar kemari, temani aku menyeduh cerita-cerita di cangkir kopiku yang malang. Malang sebab tak punya kawan bermain dia di atas meja. 

Pulanglah, Tuan. 

Temani aku menghirup kopi dan membaca buku.

Surabaya, 10 Februari 2015