Flashback

Aku menggenggam kertas persegi panjang di tanganku dengan erat, aku berhenti membaca bahkan sebelum aku memutuskan untuk membaca. Aku menekan tombol kunci ponselku dan memandangi sebuah foto yang melatarbelakangi ponselku. Sudah hampir dua tahun aku tak menggantinya atau sekadar berniat untuk menggantinya. Aku seorang fotografer, namun aku tak pandai mengambil gambar diri sendiri lewat ponsel sendiri.

Gambar itu diambil sepulang aku kuliah dan dia sedang merengek ingin ditraktir di sebuah restoran favorit kami yang tak jauh dari kampusnya. Aku membukakan pintu mobil di sebelah kiriku, tentu saja aku harus keluar lebih dulu dari mobil. Tersenyum kepadanya dan mempersilakan dia masuk. Perempuan itu mencium pipiku sebelum masuk, pipiku tiba-tiba terasa hangat. Aku yakin dia sedang sangat lapar, dia memesan satu porsi steak, satu porsi kentang goreng dan satu milkshake rasa cokelat. Aku hanya memesan spaghetti dan kopi. Apa pun makananku, minumanku adalah kopi, entah dingin atau panas.

Perempuan itu suka sekali bercerita, tentang apa yang barusan dialami padaku. Tak pernah menyembunyikan satu hal apa pu, itu mengapa hubungan kami bisa seawet itu. Andai aku mampu membekukan waktu, akan kubingkai senyumnya yang sungguh manis siang itu, rambutnya yang hanya sebatas bahu itu dihiasi dengan bando berwarna cokelat tua, bibirnya yang merah muda itu membuatku tak bisa menahan untuk tak mengambil gambarnya.

"Kok cuma aku yang difoto sih?"

"Terus?"

"Kita foto berdua. Sini."

Dia mengambil kameraku dan menepuk kursi di sebelahnya, mengisyaratkan padaku untuk duduk di sampingnya. Aku menurut. Dia meletekkan tangan kirinya di bahu kananku, tersenyum dan berkata, "Cheeseeeee.."

Sebuah pesan masuk membuyarkan lamunanku.

Hai, sudah terima undangan dariku, bukan? Jangan lupa datang, ya. Bawa juga pacar barumu, kenalkan aku padanya.

Surabaya 2014.

Babak Satu Jam

Halte depan kampus, 12.30

Aku menggaruk kepalaku yang tak sedang gatal dengan tangan kiri, sedang tangan kananku memainkan botol kaca minuman teh dalam botol yang sudah hampir habis. Perempuan itu masih saja menangis di sampingku, minumannya bahkan tak disentuhnya sama sekali. Aku tak percaya, perempuan yang kukenal hampir tiga tahun masa aku menjadi mahasiswa dan kukenal sebagai perempuan yang super tangguh itu matanya pecah dan pipinya banjir di hadapanku. Oh, tidak, dia menangis tanpa mengeluarkan sedikitpun isakan. Hanya air mata mengalir tak henti menghangatkan pipinya. 

Aku melirik ke arah kiri, sejenak. Matanya menerawang entah ke mana. Kulihat tangannya sedikit gemetar sedang kakinya enggan untuk diam. Ibu kota sedang panas-panasnya, sama seperti isi dadanya sekarang. Kurasa. Dia belum bercerita banyak, bibirnya kutaksir sedang kelu. Bagaimana tidak, dia mengirimiku pesan singkat untuk bertemu di depan kampus. Belum juga mengeluarkan satu kata pun dia sudah memelukku sambil menangis. Sebagai seorang mahasiswa merangkap wartawan di sebuah majalah kecil di kota ini, aku merasa sangat bodoh karena kehilangan kata-kata.

"Yakin tak mau bercerita?"aku mengawali percakapan.

"Kami sudah tak ada apa-apa lagi."ujarnya, perlahan.

"Kami? Siapa maksudmu?"

"Dia memutuskan hubungan kami."

Hening. Tak ada yang berbicara.

"Aku ada kuliah setengah jam lagi. Aku sudah membolos dua kali. Kutunggu kau di tempat biasa nanti malam selepas maghrib. Kamu harus kuat, jaga dirimu baik-baik."

Aku meletakkan botol minuman kosong itu pada tempatnya, membayar keduanya, menepuk bahunya lembut, berpamitan pada pemilik kios dan pergi menuju kelas. Aku hanya seorang mahasiswi semester enam yang sedang tak menjalin hubungan dengan siapa-siapa, sedang tak jatuh cinta dengan siapa-siapa dan sedang tak punya masalah apa-apa selain deadline dari kantor.


Kantin, 13.25

"Bengong aja, lu. Kesambet nanti."seseorang tiba-tiba duduk di sampingku. Siang ini dosen sedang tak ada, beberapa kawan sudah pulang dan sisanya pergi hangout entah ke mana. Sedangkan aku memilih duduk di kantin dengan segelas jus alpukat yang tinggal seperempat.

"Ngapain kamu di sini?

"Aku sengaja cari kamu seharian. Tadi pagi kulihat kamu masuk ke dalam kelas, lalu setelah itu aku tak melihat kamu lagi. Aku lapar, makanya aku ke sini dan tak sengaja melihat kamu. Mungkin kita berjodoh."

Aku tak menyahut. Berjodoh? Yang benar saja, dia pacar sahabatku. Laki-laki ini sedang tak waras rupanya. Mungkin pengaruh cuaca yang sedang panas-panasnya.

"Aku punya tiket konser Tulus. Dua buah."

"Lalu?"

"Ikutlah denganku."

"Apa kabar dengan..."

"Kami sudah tak ada hubungan apa-apa."

Aku membenarkan letak dudukku. Aku baru saja teringat malam nanti punya rencana ke toko kaset untuk membeli CD Tulus keluaran yang  baru. Tiba-tiba laki-laki di sampingku ini menawariku untuk menonton konser Tulus bersama. Kebetulan yang aneh.

"Oke, sekarang aku tahu mengapa siang tadi dia datang ke aku sambil menangis. Kau apakan dia?"

"Pertanyaanmu salah."

"Mana ada pertanyaan salah?"

"Harusnya kau bertanya, apa yang sudah dia perbuat denganku?"

"Kamu engga waras hari ini. Sungguh."

"Aku lelah memaafkan kesalahan yang sama berulang-ulang."

"Sejujurnya, aku sungguh tak ingin ikut campur urusan kalian sedikit pun. Tapi aku akan sangat marah jika seseorang berani menyakiti sahabatku sendiri."

"Kamu tak perlu dengar dari aku, dengarkan saja jika dia bercerita nanti. Namun yang jelas, aku lelah memaafkan kesalahan yang sama berulang-ulang."

"Kalau begitu mungkin itu memang sifat atau kebiasaan dia. Belajarlah menerima."

"Aku lebih tertarik dengan perempuan macam kamu."

"Macam aku? Tidak. Aku bukan pagar yang doyan makan tanaman."

"Aku tahu posisi kita, tapi setidaknya, aku sudah mengatakan apa yang aku rasakan."

Surabaya, 2014

Panggil Aku Pengecut

Kalau kamu pernah melihat perempuan dengan dress berwarna biru langit dan sepatu converse merah di sebuah kedai kopi di sudut kota dengan mata yang lekat dengan layar komputer jinjingnya namun sebuah earphone yang berasal dari sebuah ponsel berwarna putih mengalunkan lagu-lagu milik Boyce Avenue mungkin kau bisa menyapanya atau mengajaknya makan bersama. Aku suka sekali menikmati Boyce Avenue, bukankah syarat meng-cover sebuah lagu adalah dia harus mampu menyanyikan lebih bagus dari penyanyi aslinya? Aku rasa mereka berhasil.

Namun ini bukan cerita tentang seberapa suka aku dengan Boyce Avenue atau seberapa sering aku menghabiskan waktuku dengan diriku sendiri. Ini tentang seorang laki-laki dengan jaket biru tuanya yang beberapa hari lalu masih bisa kupeluk dari belakang, yang satu bulan lalu masih bisa kudengar gelak tawanya, yang satu tahun lalu masih suka memainkan tanganku sambil menyetir, atau yang kemarin lusa masih mengusap sisa es krim di sudut bibir kananku dengan bibirnya.

"Aku cuma ingin tahu apa kau masih mencintaiku, De?"

Laki-laki itu diam tanpa ekspresi. Kopinya sudah dingin, itu sebab dia enggan untuk menyentuhnya. Bukan salahku kopinya dingin, kenapa dia tak menyentuhnya sama sekali setelah pramusaji dengan senyumnya yang manis meletakkan pesanannya di atas meja. Aku tahu dia sangat gelisah, kakinya tak pernah mau diam ketika gelisah. Sayangnya, bibirnya diam seperti tak mengenal aksara.

"Bicaralah, De. Satu kata saja."

Kali ini dia menatapku, tanpa berkedip. Aku tak tahu harus berbuat apa, bahkan membaca matanya pun aku tak lagi sanggup. Aku tahu, kita sudah memutuskan untuk saling mengikhlaskan. Namun jika memang kita akhirnya harus berpisah, setidaknya beri aku waktu sejenak saja rebah di dadamu untuk terakhir kalinya.

"Kopiku sudah dingin, minumlah. Nanti kupesan lagi."

"Aku sedang tak ingin minum kopi dingin."

"Bukankah itu bagian favoritmu? Menikmati kopi yang selagi dingin?"

"De, bukan itu yang ingin kudengar."

"Aku harus pergi, jagalah dirimu baik-baik. Habiskan kopiku, biar nanti aku yang bayar semuanya."

Laki-laki itu beranjak tanpa mencium keningku, atau setidaknya membuat rambutku berantakan seperti biasanya. Dia pergi tanpa ekspresi.

Ini tepat dua tahun setelah kau pergi meninggalkanku, De. Aku terlalu pengecut untuk menghadiri acara yang hanya beberapa langkah dari tempatku duduk kala itu. Di seberang sana, beberapa pengunjung berpakaian rapi dan berjas memenuhi sebuah gedung. Sedang aku, terlalu pengecut untuk sekadar memberimu kata selamat.

Selamat menempuh hidup baru, De.

Maaf terlambat.

Namun, bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?

Surabaya, 2014.

kau salah sangka

kau salah sangka, aku tak sekuat yang pernah kau bayangkan
wahai pria yang mengaku-aku dewasa
aku masih memanjakan telinga dengan lagu-lagu sendu
aku masih menangis di belakang tawa yang kuperlihatkan banyak orang
aku masih senang mengutuk diri sendiri yang belum juga berubah nasibnya

kau salah sangka, aku tak secantik yang pernah kau bilang
wahai pria yang mengaku-aku dewasa
nyatanya kau masih memilih rengkuh yang lain
dadamu juga tak lagi mau membuka pintu kehadiranku
kepalamu menolak untuk kurebahi

kau salah sangka, aku bukan pemilik ciuman hebat seperti katamu
wahai pria yang mengaku-aku dewasa
setelah kulihat ada gincu merah muda
di bibir kirimu pada minggu pagi
ketika sengaja aku bangun mendahului pagi
menghampirimu dengan serantang sarapan

kau salah sangka, aku bukan perempuan yang tangguh
wahai pria yang mengaku-aku dewasa
karena aku masih menulis
sambil menangis

surabaya, 2014.