delapan tanda tanya

aku tahu aku tersesat jika sekali saja kulangkahkan kakiku menjauhimu

namun mungkin akan lebih salah lagi jika aku tetap tinggal sedang kau menyuruhku pergi

karena kau mengingatkan kita lebih awal agar tak saling terjatuh. pun tak saling melukai. itu pertanda cinta, bukan ?

dengar! itu masa lalu milikmu berteriak-teriak ingin direngkuh. sambutlah! itu yang kau mau, bukan ?

lalu atas dasar apa kau menghentak rasa yg tercipta pada dadamu semenjak bertemunya dua tatap kita siang itu ?

dan atas alasan apa kau menyuruhku berhenti atas langkah yang telah terlanjur kutapaki ?

apa mengenai masa lalu yg bergelantung tepat empat koma lima senti di dahimu yg membayangi rasa yakin dan mencipta ragumu, betul begitu ?

lalu apa arti dari bahwa masa lalu bukan untuk didatangi lagi tapi dipetik buah ajarnya yg sempat kau lontarkan, apakah kau ingat ?

kau bilang tak perlu kita sebegitu cintanya. tapi kau diikat sebegitu eratnya oleh masa lalu. apa benar bahwa kau hanya terlalu nyaman ?

pemakluman yg dalam itu yg kau harapkan dariku atas setangkup harap yg sempat kau hadiahkan padaku untuk kurengkuh, apa itu yg kau mau ?

aku diombang-ambing sayang, oleh delapan tanda tanya yg sesegera ingin bersua pada jawabnya.

aku tercekat sayang di tengah ruang kosong yang sempat berisi sebuah pengharapan yg ternyata abu-abu, hatiku pun membiru.

aku tak butuh tanggung jawab atas perasaan yg terlanjur tercipta. namun, aku butuh penjelasan. tak banyak, hanya delapan tanda tanya.


survey for survive


 kuliah kerja nyata, apa yang ada di benak kalian saat mendengar tiga kata itu? jika aku menjadi? salah satu program di sebuah stasiun tv swasta? bisa jadi, aku pun sempat berpikiran ke sana. berkecimpung dengan masyaraka desa yang jauh dari peradaban, jauh dari hiruk pikuk, jauh dari apa yang namanya modern dan hedonitas. 

sembilan belas orang, yang belum pernah saling mengenal sebelumnya dipertemukan disini. desa besah, kecamatan kasiman kabupaten bojonegoro, saya yakin waktu itu belum ada satu pun dari kami yang pernah mendengar nama desa itu. makanya, ketika kami sedang berkumpul untuk rapat, kami menyempatkan membuka google map, yaah.. alat bantu manusia modern seperti kami, apalagi.

keadaan tempat tinggal kami
survey beberapa kelompok pasti lah waktu itu mengharuskan diri untuk survey ke desa masing-masing, pun dengan kamu. survey for survive. setidaknya akan ada gambaran nantinya di sana seperti apa. barang-barang apa saja yang harus dibawa ke sana. dan yang terpenting bagi kami adalah nyaman atau tidak tempat tinggal yang akan kami diami selama kurang lebih 26 hari nantinya.

survey pertama.. ngaret.. seperti biasa rencana kumpul jam 6 pagi akhirnya kita berangkat pukul setengah delapanan kurang lebih. tak banyak yang ikut kala itu, hanya saya, mas @koendhie, mbak @TaaaGieta, @kie7812, dan ketua kami @arisonly. kami belum dekat satu sama lain kala itu, tak banyak yang bisa kita bicarakan selain rencana kita di sana nantinya. setelah agak sedikit nyasar dan dibantu dengan supirnya aris kita akhirnya tiba di rumah bu kades. yaaa.. kepala desanya kala itu seorang wanita yang nanti akan saya jelaskan lebih lanjut di edisi berikutnya. berbekal beberapa pertanyaan dari teman-teman yang di surabaya kami mulai mewawancarai bu kades, pun mengenai tempat tinggal, kami juga sempat mendatangi salah satu sekolah dasar yang ada di sana, sayangnya sekolah sudah bubar kala itu.

survey kedua agak hectic, hampir semua ikut. dengan tiga mobil kami berangkat dengan ngaret seperti biasa. tapi kami menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah tempat makan, sebut saja kaliotik yang akhirnya beberapa dari kami sempat sedikit mengumpat ketika melihat bill, hahaha, maklum kantong mahasiswa dan anak kos. saya sendiri waktu itu habis 19 ribu untuk nasi, telur, kompilasi kuah dan segelas teh hangat. perkiraan saya waktu itu kompilasi kuahlah yang membuat billnya bernilai tinggi, cukup sekian dan terima kasih.

wajah-wajah para survivor

  sampai di sana kami kembali menemui ibu kepala desa dan juga pak bayan, orang desa memanggilnya mbah bayan. jabatannya adalah ketua urusan.. hmmm saya agak nggak mudeng juga beliau urusan apa, tapi waktu itu beliau menjadi penengah antara kami dengan warga. hingga akhirnya urusan mengenai tempat tinggal juga konsumsi beres kala itu juga setelah dengan beberapa negosiasi pastinya. kami juga sempat mendatangi pusat kesehatan hewan untuk urusan proker teman-teman dari kedokteran hewan. survey ditutup dengan makan soto di lamongan yeay!

ruang tengah rumah cewe


pak rete mulai pedekate sama antok kliwir



kisah pak rete yang ditinggal sebatang kara oleh kawan-kawannya
 

Layang-layang di Ujung Senja dan Terminal Asap Rokok yang Memenuhi Kotak Kenangan


oleh: Pratiwi Herdianti Putri

Empat lebih empat puluh lima sore, jarum jam yang sama yang selalu dilihat Nadira ketika disandarkan punggungnya pada ujung tiang halte tempatnya menunggu bemo yang akan mengantarkannya pulang. Nadira akan betah berlama-lama menyandar di sana menanti senja, ketika senja merangkak datang padanya maka akan Nadira sambut dengan peluk hangat di tambah kecupan mesra di pipi senja.
Sudah dua tahun semenjak Nadira mencopot seragam putih-abunya. Ambisinya untuk menjadi penulis mulai memudar semenjak senja jarang sekali menghampirinya di halte tempatnya menunggu. Senja lebih suka menghampiri segerombol anak laki-laki yang asyik bermain layang-layang di ujung gang dekat rumahnya. Kalau Nadira tau senja di sana, Nadira cemburu. Tentu  saja. Makanya Nadira lebih suka menyibukkan diri dengan kuliahnya, dengan organisasinya.
Dulu Nadira suka sekali bermain layang-layang, lalu senja akan menghampirinya. Menemaninya bermain layang-layang. Tapi karena kesibukannya, layang-layang yang Nadira buat dengan Kakek kini terpaksa dibiarkan teronggok di pojokan garasi. Kadang, ketika Nadira mengambil mobilnya di garasi, terdengar rintihan layang-layang yang tengah merindu untuk diterbangkan, merindukan senja terutama. Nadira pun.
“Sudah kubilang aku akan menjemputmu pukul lima di depan kampusmu, apa yang kamu lakukan di sini, Nona Manis?”sebuah suara mengangetkan Nadira.
“Maaf, Mas. Aku lupa.”
“Kepada senja kamu tak pernah lupa.”desah Alex.
Laki-laki itu menggandeng tangan Nadira membawanya menuju parkiran di kampus Nadira, tempatnya memarkirkan motor bebeknya. Tadi Alex sedikit kelimpungan mencari Nadira. Beberapa kawannya bilang, Nadira sudah keluar kelas semenjak pukul setengah lima sore. Ponselnya pun sudah tak aktif. Hingga Alex membayangkan, jika Nadira menjadi sepatu Nadira, kemana Nadira akan melangkahkan kaki sepulang kerja. Benar saja, wanita yang sedang Nadira cintai didapatinya tengah melamun sambil menyandarkan punggungnya pada tiang halte.
Senja mulai merangkak menunjukkan wujudnya yang oranye, Alex memang tak suka senja. Tapi karena Alex akan mendapati Nadira tersenyum lebar-lebar sambil mempererat genggaman tangannya padanya, sedikit demi sedikit Alex suka berterima kasih pada senja lewat surat yang Alex titipkan pada malam. Genggaman tangan itu, menurut Alex, adalah genggaman tangan paling menenangkan di dunia.
Nadira memeluk Alex dari belakang, deru motor bebek Alex tak dihiraukannya. Kehadiran Alex adalah hening dalam riuh yang menghampirinya. Semangat dan harapan Nadira tercipta dari aroma tubuh Alex. Baginya, pelukan itu lebih indah dari sekedar kata-kata aku menyayangimu atau aku membutuhkanmu. Nadira memeluk tubuh lelakinye erat bersamaan dengan deru motor bebek usang yang memecah jalanan ibu kota.
“Besok kamu jadi ke Jakarta, Mas? Satu tahun?”
“Aku kira kamu tak ingat.”
“Mana mungkin aku tak ingat akan perpisahan kecil yang akan terjadi besok, Mas. Pukul berapa kamu pergi?”
“Pukul sembilan pagi. Kalau kamu tak bisa antar, biar Ayah nanti yang mangantarku, Nona Manis.”
“Kok gitu? Aku bisa ijin, Mas. Itu kalau Mas mau.”
“Enggak usah, Nona Manis.”
“Baiklah, Mas. Jangan lupa hubungin aku kalau Mas mau berangkat.”
“Pasti. Malam ini mampirlah ke kosanku sebentar. Bantu mas bersiap.”
“Dengan senang hati.”jawab Nadira sambil mengencangkan pelukannya.
Deru mesin motor bebek, senja yang perlahan mulai hilang, jalanan Kota Surabaya yang mulai macet, punggung yang wangi. Benak Nadira sangat pandai dalam merekam kenangan. Ada sebuah kotak berwarna ungu dalam benak Nadira, isinya kenangan, tak besar ukurannya. Isinya pun hampir penuh. Nadira takut kalau suatu hari kotak itu penuh, Nadira harus menutupnya dan menggantinya dengan baru.

***

terkapar





aku terkapar di tepian ulu hati, telingaku mendengar suara teriakan menyuruhku bangkit lalu terjun. hingga mati. langit sore membiru tergurat oranye. sembiluku membiru disayat apa yang seringnya mereka sebut harap yang berisikan kosong kedap pengap.

aku sedang tak ingin mati, aku masih ingin hidup meski sukar napasku tersengal. meski partikel-partikel oksigen enggan sudah untuk kuhirup. meski jutaan debu masa lalu masih saja dengan rajinnya datang menjejali pikiranku, menjejali saluran pernasapanku, namun aku tak ingin mati.

yah, aku terlambat menyadari bahwa aku jatuh cinta pun bahwa aku sedang disakiti, aku terlambat. hingga aku kini.. terkapar..

kaca spion

dari kawanan tak dikenal peluru menikam barang selasar
namun begitu pun tak jua buatmu berhenti berkelakar
hingga tentara kembali mengisi ulang selongsong
mulutmu masih saja dipenuhi omong kosong
selagi padaku rindu masih merong-rong
hei, kamu, sebentar ikuti aku
ratapi sebungkus gamang
yang tak menghilang
jangan menolak
ini kehendak
tidak
bukan mauku
hidup selalu begitu
membuat kita tersudut
akan beberapa hal yang kalut
tak jarang harus sedikit mengalah
jangan kau coba untuk kembali pandang
pada sepasang kaca spion pembuat hati resah
yang kerjanya hanya bisa menjadi dinding penghalang
sia-sia sudah jika kau berteman mereka si penyulut kenangan
yang kerjanya membuat onar dalam benak yang tak layak di angan

surabaya, 2012
kaca spion, padanyalah skenario kita waktu itu dibentuk, terlukis, cantik, elegan, juga pilu.

konspirasi pagi

pagi yang bisu, sedikit berbisik aku pada semesta
mengajaknya berkonspirasi
tentang apa arti diam dalam riuh di sekitar
mengapa embun, hanya datang ketika pagi menjelang
pun hanya membasahi rumput dan dahan
tidak dengan hati yang kering
mengapa pagi, selalu memaksa mata-mata berkantung hitam beraktivitas
menggerakkan tubuh-tubuh yang padahal lelah
bekerja lebih keras dari kemarin, demi nafas yang tetap berlangsung
mengapa matahari, tak selamanya hangat memaku
pagi hilang, beringaslah dia
menggigit kulit-kulit yang semakin hitam sebabnya
mengeringkan jiwa yang tandus di awalnya
menyusup hidup yang terberontak jiwanya
bukankah kita tinggal di negara bebas
harusnya tak boleh ada belenggu dalam jiwa
harusnya tak boleh ada kekang yang menelanjang
semua bebas berkonspirasi
tak terkecuali pada pagi yang bisu, pagi harimu

surabaya, 2012
untuk kalian yang susah bangun pagi dan jarang menikmati hangatnya pagi.

kumohon

kumohon katakan padaku, apa yang lebih kejam dari sepotong kenangan yang pernah kita lukis berdua dengan tinta warna-warni. terkadang jika rindu sedang berlebih kita menyempatkan diri membeli secangkir tinta emas lalu menorehkannya di atas kertas menggunakan kuas yang menggantung pada harapan. dengan ditemani sebait dua bait lagu tentang kau dannya. apakah pisau besar tukang daging yang baru saja diasah ujungnya ataukah sebilah pedang yang mempunyai kisah masa lampau.

kumohon jelaskan padaku arti dari seikat bunga yang tergeletak manja di depan pintu rumahku dengan pita merah jambu dan sepucuk surat bersuara merdu yang kau kirimkan melalui rinai sepi yang menghunjam melonglong memasuki kerongkongan dan mengenyangkan.

kumohon bisikkan padaku sekalimat alasan untuk mendukung argumen yang pernah kau lemparkan di atas dahiku bahwa hati tak pernah memilih, dia menunggu untuk dipilih hingga akhirnya harus menyakiti beberapa kawanan hati yang harusnya tak layak untuk terluka.

surabaya, 2012
aku hanya butuh penjelasan.

memaki gelap

memaki dalam gelap kurasa aku sedang
tetiba luka kembali merayap dalam benak
menjejal pikiran dengan sebelas bait pertanyaan
membungkam mulut oleh kekarnya
mereka menari sambil tertawa
sesekali mengecup pipi kiriku, lalu pipi kananku
memandangi sekujur tubuhku seakan ingin menguasai tak hanya benakku
hidupku pun ingin dibalutnya
tersengal aku berlarian
dikejar kenangan yang menumpang di punggung luka
mereka menggenggam sebilah pilu
yang siap menikamku kapan mereka ingin
gelap meraja seakan tak peduli
makian yang kulontar seakan hanya makanan basi
tertatih aku dalam tubuh gulita
lumpuhlah aku dibuatnya
dihantam rindu bertubi pada tekuk
menarik sembab di pelupuk mata
sepotong cahaya merengkuh tetiba
menguliti luka dan mematah pilu 
gelap tersungkur di ujung ragu
oleh cahaya berwarna biru

surabaya 2012
untuk cahaya biru yang kunanti hadirnya

Bagaimana Bisa


harapan kosong


Telunjuk Laila menyusuri sederet nama-nama yang tertulis di papan pengumuman. Sudah belasan menit dia mengurutnya dari bawah ke atas tapi belum juga menemukan sebuah nama. Hari ini pengumuman akan diletakkan di perusahaann mana dia oleh Universitas setelah mengikuti beberapa tes tulis, wawancara dan sebagainya yang cukup berat. Pikiran Laila sudah nggak karuan, perasaan takut tak diterima di mana-mana menyelimutinya.
“He, La. Ngapain disitu?”
“Lu, Ken. Nama gue engga ada, nih.”bisik Laila gemetaran. Niken tertawa terbahak.
“Saklek! Yaiyalah engga ada, ini buat mahasiswa Ilmu politik, buat mahasiswa sastra noh disana! Salah alamat, Neng!”seru Niken sambil menyeret sahabatnya satu itu ke sebuah papan pengumuman lain yang tak jauh dari situ.
Sebuah nama tercantum di urutan dua puluh satu, Laila Mei Anggraini, Tanda Seru Adv. sebagai art director junior. Niken memeluk sahabatnya.
“Selamat ya, meskipun cuman magang tapi kan jadi art director junior. Jadi, tolong dong dibuang muka kusut ketakutannya.”bisik Niken di telinga Laila. Laila membalas pelukan sahabatnya.
“Makasih ya, bungkus indomi. Lu sendiri keterima magang di mana?”
“Kantor konsultan pajak, asisten staff acounting.”bisik Niken. Mereka berpelukan sekali lagi. Persahabatan yang mereka rajut sejak smp dan berlanjut hingga perguruan tinggi membuat kedekatan mereka sangat kental.

***

Tap tap tap.
Suara trotoar beradu dengan sepatu converse yang berasal dari seorang gadis kecil yang tengah berlari-lari kecil. Berkali-kali dia mengangkat tangan kirinya menengok arloji hijau muda yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Pukul delapan lebih lima menit, itu artinya Ila terlambat, dan buruknya lagi, Ila terlambat di hari pertamanya.
Sebuah tanda seru besar berwarna merah menyambutnya di pintu masuk seakan menegurnya bahwa hari ini dia benar-benar terlambat, telak, setengah jam. Laila menghampiri mbak-mbak di front office yang sedang mengobrol di telepon sambil terengah-engah. Diam-diam, seseorang mengamati tingkahnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”tanya mbak-mbak FO itu sambil meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Laila mengatur napasnya.
“Maaf, Mbak. Saya anak magang dari...”
“Oh, iya mbak, Pak Dimas telah menunggu di ruangannya. Mbak naik aja ke lantai dua, ada ruangan dengan pintu warna merah.”
Tanpa banyak basa-basi Laila berlari ke arah yang diinstruksikan mbak-mbak yang bernama Cintya yang Lalila tau dari tag name di dadanya. Pintu berwarna merah, lagi-lagi berwarna merah, semua ornamen di kantor ini kebanyakan memang berwarna merah. Bahkan tanda seru besar di depan tadi juga berwarna merah. Laila mengetuk pintu merah besar itu dengan hati-hati.
Come in!”seru yang ada di dalam.
“Maaf pak, Saya Laila, saya anak magang dari...”
“Kamu tau arti waktu adalah uang?”
“Maaf, Pak, saya terlambat, tapi saya bisa jelaskan.”
“Hari pertama terlambat, good job, Laila. Hari ini saya maafkan, tapi besok, saya nggak ingin ada alasan lagi. Jam kantor dimulai pukul delapan tepat, sanggup?”tanya pria yang berdiri di belakang mejanya itu. Laila mengangguk-angguk. Pria itu tertawa, Laila makin bingung, nafasnya masih tersengal.
“Saya paling nggak bisa marah, Laila. Hahaha. Kenalkan, saya Dimas, owner dari Tanda Seru Advertising. Just Dimas, no Mas or Pak. Semua disini manggil saya seperti itu kecuali menyebut nama saya kepada tamu yang datang. Ikut saya, akan saya kenalkan kepada rekan-rekan yang lainnya.”
Dimas menggandeng tangan Laila yang masih berkeringat tanpa canggung membawanya berputar mengelilingi bagian kantor mungil yang hanya terdiri dari dua lantai dan berakhir di sebuah ruangan dengan salah satu meja kosong yang sudah disediakan untuknya.
“Yes, welcome to Tanda Seru Advertising. Tuangkan selalu ide gila kamu di sini tanpa canggung. Ini, Martha, art director senior kamu yang akan membimbingmu nantinya. Jangan sungkan untuk bertanya dan selamat bekerja!”seru Dimas sambil mengacak-acak rambut Ila lalu berlalu meninggalkan ruangan itu.
Hidup Laila banyak berubah semenjak hari itu, waktu buat karaoke atau ngemall nggak jelas bareng Niken, sahabatnya. Dia punya Martha, senior yang sangat telaten membimbingnya, juga Dimas, bos yang sangat perhatian terhadapnya.

***

“Heh, Lu bengong aja.”ujar Niken. Hari ini agaknya ada yang aneh pada diri Laila, terutama sejak seminggu yang lalu, semenjak Laila magang di kantor advertising itu. Niken tahu betul cerita kehidupan Laila. Sudah setengah tahun ini Laila jarang sekali menyunggingkan senyumnya, terutama jika mendengar nama Rendi.
“Heh, La. Gue dikacangin ih. Daritadi bengong senyam senyum sendiri liatin blackberry. Bbm’an sama siapa, sih?”celoteh Niken sambil mengusik ketenangan bengong Laila.
“Apaan sih, Ken. Lu ganggu aja, deh.”
“Kemaren gue liat Rendi sama Tiara...”
“Lu bisa nggak sih nggak ngomongin mereka. Gue lagi males dengernya.”
“Lu jatuh cinta ya? Lu udah move on?”
“Rahasiaaaa.”seru Laila sambil mengerlingkan matanya.

***

Keberuntungan juga buat Laila kala itu, mereka ada project ke Jogja menggarap sebuah proyek iklan besar di kota itu dua minggu penuh. Jogja, yang artinya, bekerja sambil liburan.
“Pagi, Laila!”sapa Dimas pagi itu bersamaan dengan Laila yang sedang menguap hebat di pinggir kolam renang.
“Eh, Dimas. Hmmm.. pagi.”
“Aku lihat semalam kamu masih nongkrong di bar jam 1’an. Nggak heran kalau jam segini masih menguap lebar.”sindir Dimas. Laila hanya tersenyum malu-malu. “Oiya, La. Nanti malam ada pertemuan khusus dengan klien. Ya, sekedar makan malam ucapan terima kasih beliau pada perusahaan kita. Kamu bisa kan temenin aku? Kebetulan rekan-rekan yang lain pada ada pertemuan dengan yang lain.”
“Mas Dimas nawarin Laila atau ngajakin Laila?”tanya Laila.
“Hmmm. Ngajak La. Ngajak. Kamu bisa kan?”
“InsyaAllah.”
“Oke, jam tujuh malam kamu saya jemput di depan kamar kamu. Hari ini kita sedang ngga ada progress apa-apa, La. Selamat menikmati liburan ya.”jawab Dimas sambil mengacak-acak rambut Laila lalu berlalu meninggalkannya sendirian di pinggir kolam renang dengan sejuta tanya. Seperti yang sudah-sudah, mengacak-acak rambut Laila sudah menjadi ritual Dimas sebelum meninggalkannya sendirian.
Makan malam itu berlangsung sukses, klien memang betul-betul suka dengan kinerja Dimas dan rekan-rekan yang lainnya. Dimas terlihat sumringah sekali malam itu, Laila kehabisan kata-kata. Hujan rintik-rintik yang membasahi Kota Jogja malam itu pun enggan membuat Laila dan Dimas berteduh. Dimas menceritakan kisah hidupnya dari nol, dimana dia harus jatuh bangun membangun perusahaan ini hingga sesukses sekarang sambil tak henti menggenggam tangan Laila.

***

Laila terjatuh, hatinya yang terjatuh. Dia sudah lupa akan luka yang dimilikinya yang dibiarkannya menganga hampir selama setengah tahun lamanya. Dengan hati-hati Dimas merawat lukanya, membalutnya dengan sejuta perhatian yang dia curahkan pada diri Laila. Hingga suatu malam, di hari terakhir Laila magang dan di sudut sebuah cafe di hadapan dua piring spaghetti, segelas milk shake strawberry dan segelas iced lychee tea Dimas menggenggam tangan Laila.
“Ada yang ingin aku bicarakan, La.”
“Apa itu, Mas?”
“Aku bukan tipe orang yang suka basa-basi, sebelumnya aku minta maaf. Berjanji untuk tidak marah padaku, La?”
“Katakan saja, Mas.”
“Aku sudah tau perasaanmu padaku, La. Kita sudah sama-sama dewasa, tapi aku minta agar kamu berhenti, La. Aku tak ingin kamu terlibat lebih jauh lagi denganmu. Aku mohon, La.”
“Apa ini, Mas? Kamu menolak permintaan yang bahkan aku tak pernah memintanya.”
“Maafkan aku, La.”

Lelaki itu melepas genggaman tangan Laila. Mengacak-acak rambut Laila sambil tersenyum lalu berlalu meninggalkan Laila. Untuk yang terkahir kalinya. Sebuah lagu terputar dalam cafe.

For all the things that you said
For all the lines that we played
For all the very best dates
How could you do this to me
.
The things we did to stay sane
The walks we had in the rain
The places we used to hang
How could you do this to me
.
Oh well
Look at me now I’m falling in pieces
I don’t know what to do now
I’m lost within this fire
Oh well
Look at me now I’m falling in pieces
I don’t know what to do now
I’m lost within this fire inside me


Don’t make someone felt special if they don’t. You just heart breaker.
Don’t pretend to care with someone if you are not. You just heart breaker.

Jogjakarta. Agustus 2012
Terinspirasi dari lagu The Triangle Band “How Could You” dan sebuah kisah nyata yang begitu klasik.